Kamis, 09 Juni 2016

Pegertian Ijtihad



Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, kata ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk masdar dari kata  اجتهد - يجتهد yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. 
Secara terminology, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, bahwa ijtihad yaitu :
بذل الفقيه وسعة في اسلتنبا ط الاحكام العملية من ادلتها  التفصيلية
‘pengerahan segala keamampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu persatu).’
            Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk mengeluarkan hukum syar’I dari dalil-dalil syara’, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan ini disebut Mujtahid.
Berdasarkan definisi tersebut, maka ijtihad terbagi menjadi : 
  1. Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya. Menurut jumhur ulama, pada suatu masa dimungkinkan terjadi kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad masa lalu dianggap cukup untuk menjawab masalah hukum dikalangan umat islam.Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada disetiap masa. Tugas utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad para ulama terdahulu.
  2. Ijtihad bentuk kedua ini disebut tahqiq al-manath. Menurut mazhab Hambali sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Zahra bahwa setiap masa tidak boleh ada kekosongan seorang mujtahid dan pintu ijtihad untuk semua tingkatan harus terbuka terus meski diakui tingkat kemampuan dan kecerdasan mujtahid berbeda. Dalam kaitan hal ini, Ibnu Al-Qayyim berkata: “Para mujtahid dimaksud adalah termasuk orang-orang yang mujaddid (pembaru) disebut oleh hadits Nabi SAW:
ان الله  يبعث لهذه الامة على رءس كل ما ءة سنىة من يجد د لها دينها        
"Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini untuk setiap seratus tahun orang yang memperbarui agamanya." (HR.Abu Daud)

            2.1.2 Dasar ijtihad
           Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam.
a.       An-nisa : 105
   إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat"

b.      An-nisa : 59
   يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا 


 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnnya.

c.       Hadits
اذا حكم الحاكم فاجتهد فاصاب له اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطا فله اجر (رواه البخارى)
Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinilai benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala. (HR.Bukhari)   

2.1.3 Syarat-syarat Mujtahid
a. Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya.
b. Mengetahui nash-nash Al-Quran perihal hukum-hukum syari’at yang dikandungnya, ayat-ayat hukum dan cara mengistimbathkan hukum dari padanya. Juga harus mengetahui asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ta’wil dan tafsir dari ayat-ayat yang hendak diistimbatkan.
c.  Mengetahui nash-nash Al-Hadits. Yakni mengetahui hukum syari’at yang didatangkan oleh Al-Hadits dan mampu menegeluarkan (istimbat) hukum perbuatan orang mukallaf dari padanya. Disamping ia harus mengetahui derajat dan nilainya seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan  dan dha’if juga harus mengetahui keadaan perawinya, mana yang tsiqah (terpercaya) hingga dpat digunakan hujjah haditsnya dan mana yang ghair tsiqah untuk ditolak haditsnya.
d. Mengetahui maqashidus syar’iyah, tingkah laku dan adat kebiasaan mannusia yang mengandung maslahat dan kemudharatan dan sanggup mengetahui ‘illat hukum serta bisa menganalogi peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang lain. Hal ini diperlukan agar ia mampu memahami peristiwa-peristiwa dan akhirnya menetapkan hukumnya sesuai dengan maqashidus syar’iyah dan kemaslahatan umum.

            2.1.3 Tingkatan Mujtahid
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan mujtahid itu terbagi dalam 4 tingkatan:
a. Mujtahid fisy-syar’I, yaitu orang-orang yang berkemampuan mengiijtihadkan  seluruh masalah syar’iyat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun madzhab-madzhab tertentu. Oleh karena ijtihaad yang mereka lakukan itu semata-mata hasil usahanya sendiri, tanpa mencangkok dari pendapat orang lain, maka mereka juga disebut dengan mujtahid mustaqil (beridiri sendiri). Mereka itu antara lain Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal (pendiri madzhab empat), Imam Al—Auza’I, Imam Daud Azh-Zhahiri, dan Ja’far Ash-Shadiq.
b. Mujtahid fil-madzhab, adalah mujtahid yang hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk madzhab tersendiri, tetapi mereka cukup mengikuti salah seorang imam madzhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnul Hasan adalah mujtahid fil-madzhab Hanafi dan Imam Al-Muzani adalah mujtahid fil-madzhab syafi’i.
c. Mujtahid fil-masail adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madzhab tertentu dri suatu madzhab buakn kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya Ath-Thahawi mujtahid dalam madzhab hanafi, iamam Al-Ghazali mujtahid dalam madzhab Syafi’I, dan Al-Khiraqi mujtahid dalam madzhab Hambali. Mujtahid fil masail ini juga disebut mujtahid fil futya.
d. Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut  pendapat-pendapat ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan yang lebih utama diantara pendapat-pendapat yang berbeda-berbeda dalam suatu madzhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka antara lain: Al-Karakhi, mujtahid dalam madzhab hanafi, dan Ar-Rafi’I dan An-Nawawi mujtahid dalam madzhab Syafi’i.

            2.1.4 Ruang lingkup ijtihad
a. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyul wurudh (hadits-hadits Ahad) dan zhanniyudh dalalah (nash Al-Quran dan Al-Hadits yang masih dapat ditafsirkan dan ditawilkan).
Tugas mujtahid dalam menghadapi dalil yang zhanniyul wurudh adalah mengadakan penelitian terhadap sanadnya, jalan kedatangannya kepada kita dari Rasulullah Saw, dan sifat-sifat perawi yang menyampaikan kepada kita., baik keadilannya, kejujurannya, maupun kesetiaan hafalannya.
Tugas mujtahid dalam menghadapi zhanniyud dalalah adalah baik dari Al-Quran maupun Al-Hadits adalah mengadakan penelitian dalam menafsirkannya, mena’wilkannya, mencari dalalahnya yang kuat dalam penunjukkannya kepada makna yang dikehendaki, menyelamatkan dari adanya perlawanan, menetapkan kekhususan atau keumumannya, kemutlakan atau kemuqayyadannya, menentukan apakah perintah menunjuk kepada wajib atau selainnya, apakah larangan member petunjuk keharaman atau lainnya, memahami maksud-maksud syar’I dalam menetapkan syari’at dan mengetahui dasae-dasar umum ditetapkan suatu syari’at. Dengan demikian, dapat menerapkan nash tersebut kepada peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya atau tidak.
b. Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali.
Peristiwa semacam ini dapat di ijtihadkan dengan leluasa, lantaran seorang mujtahid dalam menghadapinya bertujuan hendak menetapkan hukumnya dengan perantaraan qiyas, istihsan, istishab, adat kebiasaan dan maslahat mursalah.
c. Peristiwa-peristiwa yang sudah ada nashnya yang qath’iyutsubut dan qath’iyud dalaalah.
Yang terakhir ini khusus dijalankan oleh Umar Bin Khattab ra. Beliau meneliti nash-nash tersebut tentang tujuan syar’I dalam mensyari’atkan hukum. Kemudian beliau menerapkan ijtihadnya pada peristiwa sekalipun sudah ada nashnya yang qath’i.

            2.1.5 Metode ijtihad
Menurut Azhar Basyir, ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah :
a. Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab. Contoh : mencium istri ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan dengan  berkumur-kumur.
b. Mashlahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya dengan pertimbangan untuk kepentinga hidup manusia yang bersendikan kepada asas menarik manfaat dan menghindari mudharat. Contoh mencatat pernikahan.
c. Istihsan, adalah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syari’at dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh : boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak mubadzir.
d. Istishab, adalah melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ada ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh : segala makanan dan minuman yang tiudak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
e. Urf, ialah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Ada 2 macam urf, pertama urf shahih, yaitu urf yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehatt, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash. Contoh : acara tahlilan, bagian harta gono-gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua urf fasid, yaitu kebiasaan buruk yang merupakan lawan urf shahih, contoh : kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam acara resepsi pernikahan, dsb.
  
            2.1.6 Hukum  Berijtihad
a. Wajib ‘ain yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Ijtihadnya wajib diamalkan dan ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lain.
b. Wajib kifayah yaitu jika da mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan hukumnya.
c. Sunnah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian). Kedua, ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
d. Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama ijtihad terhadap permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada maslaah selain itu. Kedua, berijtihad bagi seseorang yang belumm memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu, hukumnya haram.

            2.1.7 Ijtihad Pada Masa Rasulullah Saw
                        ijtihad telah mulai sejak zaman Rasulullah Saw beliau sering melakukan ijtihad, memerintahkan keada para sahabat untuk melakukan hal itu dan mengakui hasil ijtihad mereka.
diantara  ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh Nabi ialah :
a.       Rasulullah Saw berusyawarah dengan para sahabat dalam menyelesaikan tawanan perang badar. dalam sidang umar mengusulkan agar tawanan badar itu dibunuh. sedang Abu Bakar menyarankan agar mereka menebus diri danRasul menerima uang tebusan. dari dua pendapat yang berbeda itu akhirnya Rasul menetapkan sesuai dengan pendapat Abu Bakar, yakni menerima tebusan.
b.      dengan jalan qiyas Rasulullah Saw menetapkan keharaman memaduseorang istri dengan bibinya (saudari Ibu atau bapaknyaistri), putrinya saudara istri.
لا تنكح المراة على عمتها ولا على خلتها ولا على ابنة اخيها ولا على ابنة اختها فا نكم ان فعلتم ذلك قطعتم ارحامكم
wanita tidak dinikah bersama saudari bapaknya, saudari ibunya, anakperempuan saudaranya dan anak perempuan ssaudarinya. jika kamu melakukan yang demikian itu, niscaya kamu memutus tali kekerabatanmu.
     ijtihad rasulullah saw. ini dijalankn dengan mengqiyaskan kepada nash Al-Quran yang mengharamkan memadu antara dua orang saudari.
     ijtihad beliau itu dikuatkan dengan pengakuan beliau dari dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a katanya:
انى اقضى بينكم با الرءي فيىما لم ينزل فيه وحي 

bahwa Rosulullah saw. bersabda: “ Aku memutuskan perkara diantara kamu dengan pendapatku dalamperistiwa yang tidak diturunkan wahyu pdanya.
nabi memerintahkan kepada para sahabat berijtihad
            berapa contoh perintah rasulullah sa. kepada para sahabat untuk memberikan keputusan, ialah:
  1. Rasulullah saw. memerintahkan kepada Amru bin Al-Ash untuk memeberikan keputusan kepada sa’ad daribani Qu-raizhah yang sedang beperkara. katanya: “putusilah itu.” jawab Amru: “ apakah aku berijtihad untuk memutuskannya, padahal tuan ada disini?” jawabnya: :Ya, bila tepat keputusanmu kamu akan memperoleh dua pahala dan jika salah kamu memperoleh satu pahala.” atas perintah tersebut Amr lalu mengambil keputusan dengan ijtihadnya dan Nabi mengiakannya. 
  2. Abu Sa’id AL-Khudri menceritkan bahwa ada dua orang sedang dala berpergian. tiba-tiba datang waktu shalat, merka tidak memperoleh air untuk mengambil wudhu. lalu bertanyamumlah keduanya dan shalat. sesaat meneruskan perjalanannya mreka menemukan air dan waktu shalat masih ada. salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang shalatnya. tetapi yang lain tidak melakukan seperti kawannya itu.setelah kejadian itu dilaporkan kepda rasulullah beliau mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya: “ engkau telah brbuat sesuai dengan sunnah dan shalatmu itu sudah cukup bagimu.” dan beliau berkata kepada orang yang mengulang shalat, “ bagimu pahala dua kali.” dengan demikian beliau telah mengakui kebenaran ijtihad mereka masing-masing selama tiak ada nash yang menunjuknya. 
  3. Pada perang Dzatus Salasil tahun 8 H komndan angkatan perang Amru bin Al-Ash mimpi nafsu birahi sampai mengeluarkan mani pada suatu malam yang sangat dingin. oleh karena dia khawatir akan kehancuran badannya karena memakai air, lalu bertayammum dan shalat suhbuh bersamasahabat-sahabat. Rasulullah SAW mengetahui peristiwa itu, lalu menegurnya. katanya : “hai Amr mengapa kamu shalat bersama teman-temanmu padahal kamu junub!” jawab Amr : “Aku takut kedinginan. bukanlah Allah telah berfirman  :
Ÿوَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا    
         "Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar