Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa,
kata ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk masdar dari kata اجتهد - يجتهد yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang
sulit.
Secara
terminology, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra, bahwa ijtihad
yaitu :
بذل الفقيه وسعة
في اسلتنبا ط الاحكام العملية من ادلتها
التفصيلية
‘pengerahan
segala keamampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbat) hukum yang
berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci
(satu persatu).’
Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk
mengeluarkan hukum syar’I dari dalil-dalil syara’, yaitu Al-Quran dan
As-Sunnah. Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan
ini disebut Mujtahid.
Berdasarkan definisi tersebut, maka ijtihad terbagi menjadi :
- Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya. Menurut jumhur ulama, pada suatu masa dimungkinkan terjadi kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad masa lalu dianggap cukup untuk menjawab masalah hukum dikalangan umat islam.Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada disetiap masa. Tugas utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan hukum termasuk hasil ijtihad para ulama terdahulu.
- Ijtihad bentuk kedua ini disebut tahqiq al-manath. Menurut mazhab Hambali sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Zahra bahwa setiap masa tidak boleh ada kekosongan seorang mujtahid dan pintu ijtihad untuk semua tingkatan harus terbuka terus meski diakui tingkat kemampuan dan kecerdasan mujtahid berbeda. Dalam kaitan hal ini, Ibnu Al-Qayyim berkata: “Para mujtahid dimaksud adalah termasuk orang-orang yang mujaddid (pembaru) disebut oleh hadits Nabi SAW:
ان الله يبعث لهذه الامة على
رءس كل ما ءة سنىة من يجد د لها دينها
"Sesungguhnya
Allah mengutus untuk umat ini untuk setiap seratus tahun orang yang memperbarui
agamanya." (HR.Abu Daud)
2.1.2 Dasar ijtihad
Posisi
ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam.
a.
An-nisa : 105
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat"
b.
An-nisa : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ
إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnnya.
c.
Hadits
اذا حكم الحاكم
فاجتهد فاصاب له اجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطا فله اجر (رواه البخارى)
Apabila seorang
hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinilai
benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan
perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala.
(HR.Bukhari)
2.1.3 Syarat-syarat Mujtahid
a. Menguasai ilmu bahasa Arab dengan segala cabangnya.
b. Mengetahui nash-nash Al-Quran perihal hukum-hukum syari’at yang
dikandungnya, ayat-ayat hukum dan cara mengistimbathkan hukum dari padanya.
Juga harus mengetahui asbabun nuzul, nasikh-mansukh, ta’wil dan tafsir dari
ayat-ayat yang hendak diistimbatkan.
c. Mengetahui nash-nash Al-Hadits. Yakni mengetahui hukum syari’at
yang didatangkan oleh Al-Hadits dan mampu menegeluarkan (istimbat) hukum
perbuatan orang mukallaf dari padanya. Disamping ia harus mengetahui derajat
dan nilainya seperti mutawatir, ahad, shahih, hasan dan dha’if juga harus mengetahui keadaan
perawinya, mana yang tsiqah (terpercaya) hingga dpat digunakan hujjah haditsnya
dan mana yang ghair tsiqah untuk ditolak haditsnya.
d. Mengetahui maqashidus syar’iyah, tingkah laku dan adat kebiasaan
mannusia yang mengandung maslahat dan kemudharatan dan sanggup mengetahui
‘illat hukum serta bisa menganalogi peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang
lain. Hal ini diperlukan agar ia mampu memahami peristiwa-peristiwa dan
akhirnya menetapkan hukumnya sesuai dengan maqashidus syar’iyah dan
kemaslahatan umum.
2.1.3 Tingkatan Mujtahid
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang
diijtihadkan mujtahid itu terbagi dalam 4 tingkatan:
a. Mujtahid fisy-syar’I, yaitu orang-orang yang
berkemampuan mengiijtihadkan seluruh
masalah syar’iyat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang
yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun madzhab-madzhab
tertentu. Oleh karena ijtihaad yang mereka lakukan itu semata-mata hasil
usahanya sendiri, tanpa mencangkok dari pendapat orang lain, maka mereka juga
disebut dengan mujtahid mustaqil (beridiri sendiri). Mereka itu antara lain
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal (pendiri
madzhab empat), Imam Al—Auza’I, Imam Daud Azh-Zhahiri, dan Ja’far Ash-Shadiq.
b. Mujtahid fil-madzhab, adalah mujtahid yang
hasil ijtihadnya tidak sampai membentuk madzhab tersendiri, tetapi mereka cukup
mengikuti salah seorang imam madzhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan
baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang.
Misalnya Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ibnul Hasan adalah mujtahid fil-madzhab
Hanafi dan Imam Al-Muzani adalah mujtahid fil-madzhab syafi’i.
c. Mujtahid fil-masail adalah mujtahid yang mengarahkan
ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madzhab tertentu dri suatu
madzhab buakn kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya Ath-Thahawi
mujtahid dalam madzhab hanafi, iamam Al-Ghazali mujtahid dalam madzhab Syafi’I,
dan Al-Khiraqi mujtahid dalam madzhab Hambali. Mujtahid fil masail ini juga disebut mujtahid fil futya.
d. Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan
menganut pendapat-pendapat ulama salaf
dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu
menetapkan yang lebih utama diantara pendapat-pendapat yang berbeda-berbeda
dalam suatu madzhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang
lemah. Mereka antara lain: Al-Karakhi, mujtahid dalam madzhab hanafi, dan
Ar-Rafi’I dan An-Nawawi mujtahid dalam madzhab Syafi’i.
2.1.4 Ruang lingkup ijtihad
a. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyul wurudh
(hadits-hadits Ahad) dan zhanniyudh dalalah (nash Al-Quran dan Al-Hadits yang
masih dapat ditafsirkan dan dita’wilkan).
Tugas
mujtahid dalam menghadapi dalil yang zhanniyul wurudh adalah mengadakan
penelitian terhadap sanadnya, jalan kedatangannya kepada kita dari Rasulullah
Saw, dan sifat-sifat perawi yang menyampaikan kepada kita., baik keadilannya,
kejujurannya, maupun kesetiaan hafalannya.
Tugas
mujtahid dalam menghadapi zhanniyud dalalah adalah baik dari Al-Quran maupun
Al-Hadits adalah mengadakan penelitian dalam menafsirkannya, mena’wilkannya,
mencari dalalahnya yang kuat dalam penunjukkannya kepada makna yang
dikehendaki, menyelamatkan dari adanya perlawanan, menetapkan kekhususan atau
keumumannya, kemutlakan atau kemuqayyadannya, menentukan apakah perintah
menunjuk kepada wajib atau selainnya, apakah larangan member petunjuk keharaman
atau lainnya, memahami maksud-maksud syar’I dalam menetapkan syari’at dan
mengetahui dasae-dasar umum ditetapkan suatu syari’at. Dengan demikian, dapat
menerapkan nash tersebut kepada peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya atau
tidak.
b. Peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali.
Peristiwa
semacam ini dapat di ijtihadkan dengan leluasa, lantaran seorang mujtahid dalam
menghadapinya bertujuan hendak menetapkan hukumnya dengan perantaraan qiyas,
istihsan, istishab, adat kebiasaan dan maslahat mursalah.
c. Peristiwa-peristiwa yang sudah ada nashnya yang qath’iyutsubut dan
qath’iyud dalaalah.
Yang
terakhir ini khusus dijalankan oleh Umar Bin Khattab ra. Beliau meneliti
nash-nash tersebut tentang tujuan syar’I dalam mensyari’atkan hukum. Kemudian
beliau menerapkan ijtihadnya pada peristiwa sekalipun sudah ada nashnya yang
qath’i.
2.1.5 Metode ijtihad
Menurut
Azhar Basyir, ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh seorang mujtahid.
Cara-cara itu adalah :
a. Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang
sudah ada hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab. Contoh : mencium istri
ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan dengan berkumur-kumur.
b. Mashlahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak
ada nashnya dengan pertimbangan untuk kepentinga hidup manusia yang bersendikan
kepada asas menarik manfaat dan menghindari mudharat. Contoh mencatat
pernikahan.
c. Istihsan, adalah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan
syari’at dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh :
boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat
yaitu membuat sesuatu itu tidak mubadzir.
d. Istishab, adalah melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada
sampai ada ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh : segala makanan dan
minuman yang tiudak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
e. ‘Urf, ialah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh
suatu kelompok masyarakat. Ada 2 macam urf, pertama urf shahih, yaitu urf yang
dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang sehatt,
membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nash. Contoh : acara tahlilan,
bagian harta gono-gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua urf fasid,
yaitu kebiasaan buruk yang merupakan lawan urf shahih, contoh : kebiasaan
meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang menjadi pengantin, mabuk-mabukan
dalam acara resepsi pernikahan, dsb.
2.1.6 Hukum Berijtihad
a. Wajib ‘ain yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan
terjadi pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya.
Ijtihadnya wajib diamalkan dan ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid
lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang hukum
suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum segera sedangkan
tidak ditemukan mujtahid yang lain.
b. Wajib kifayah yaitu jika da mujtahid lain selain dirinya yang akan
menjelaskan hukumnya.
c. Sunnah, yaitu melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, terhadap
permasalahan yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh Imam
Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian). Kedua,
ijtihad pada masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain.
d. Haram, yaitu ijtihad pada dua hal. Pertama ijtihad terhadap
permasalahan yang sudah tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadis dan
ijtihad yang menyalahi ijma. Ijtihad boleh pada maslaah selain itu. Kedua,
berijtihad bagi seseorang yang belumm memenuhi syarat sebagai mujtahid, karena
hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya karena
menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu, hukumnya haram.
2.1.7 Ijtihad Pada Masa Rasulullah Saw
ijtihad
telah mulai sejak zaman Rasulullah Saw beliau sering melakukan ijtihad,
memerintahkan keada para sahabat untuk melakukan hal itu dan mengakui hasil
ijtihad mereka.
diantara ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh Nabi
ialah :
a.
Rasulullah Saw berusyawarah dengan para sahabat dalam menyelesaikan
tawanan perang badar. dalam sidang umar mengusulkan agar tawanan badar itu
dibunuh. sedang Abu Bakar menyarankan agar mereka menebus diri danRasul
menerima uang tebusan. dari dua pendapat yang berbeda itu akhirnya Rasul
menetapkan sesuai dengan pendapat Abu Bakar, yakni menerima tebusan.
b.
dengan jalan qiyas Rasulullah Saw menetapkan keharaman
memaduseorang istri dengan bibinya (saudari Ibu atau bapaknyaistri), putrinya
saudara istri.
لا تنكح المراة على عمتها ولا على خلتها ولا على ابنة اخيها ولا على
ابنة اختها فا نكم ان فعلتم ذلك قطعتم ارحامكم
wanita
tidak dinikah bersama saudari bapaknya, saudari ibunya, anakperempuan
saudaranya dan anak perempuan ssaudarinya. jika kamu melakukan yang demikian
itu, niscaya kamu memutus tali kekerabatanmu.
ijtihad rasulullah saw. ini dijalankn
dengan mengqiyaskan kepada nash Al-Quran yang mengharamkan memadu antara dua
orang saudari.
ijtihad beliau itu dikuatkan dengan
pengakuan beliau dari dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Salamah
r.a katanya:
انى اقضى بينكم با الرءي فيىما لم ينزل فيه وحي
bahwa Rosulullah saw. bersabda: “ Aku memutuskan perkara diantara kamu dengan pendapatku dalamperistiwa yang tidak diturunkan wahyu pdanya.
nabi
memerintahkan kepada para sahabat berijtihad
berapa contoh
perintah rasulullah sa. kepada para sahabat untuk memberikan keputusan, ialah:
- Rasulullah saw. memerintahkan kepada Amru bin Al-Ash untuk memeberikan keputusan kepada sa’ad daribani Qu-raizhah yang sedang beperkara. katanya: “putusilah itu.” jawab Amru: “ apakah aku berijtihad untuk memutuskannya, padahal tuan ada disini?” jawabnya: :Ya, bila tepat keputusanmu kamu akan memperoleh dua pahala dan jika salah kamu memperoleh satu pahala.” atas perintah tersebut Amr lalu mengambil keputusan dengan ijtihadnya dan Nabi mengiakannya.
- Abu Sa’id AL-Khudri menceritkan bahwa ada dua orang sedang dala berpergian. tiba-tiba datang waktu shalat, merka tidak memperoleh air untuk mengambil wudhu. lalu bertanyamumlah keduanya dan shalat. sesaat meneruskan perjalanannya mreka menemukan air dan waktu shalat masih ada. salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang shalatnya. tetapi yang lain tidak melakukan seperti kawannya itu.setelah kejadian itu dilaporkan kepda rasulullah beliau mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya: “ engkau telah brbuat sesuai dengan sunnah dan shalatmu itu sudah cukup bagimu.” dan beliau berkata kepada orang yang mengulang shalat, “ bagimu pahala dua kali.” dengan demikian beliau telah mengakui kebenaran ijtihad mereka masing-masing selama tiak ada nash yang menunjuknya.
- Pada perang Dzatus Salasil tahun 8 H komndan angkatan perang Amru bin Al-Ash mimpi nafsu birahi sampai mengeluarkan mani pada suatu malam yang sangat dingin. oleh karena dia khawatir akan kehancuran badannya karena memakai air, lalu bertayammum dan shalat suhbuh bersamasahabat-sahabat. Rasulullah SAW mengetahui peristiwa itu, lalu menegurnya. katanya : “hai Amr mengapa kamu shalat bersama teman-temanmu padahal kamu junub!” jawab Amr : “Aku takut kedinginan. bukanlah Allah telah berfirman :
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
"Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar